KILAS BALIK
Oleh: Sandra Ayu Risky
Secangkir kopi yang ada di hadapannya, di meja kayu dengan taplak berwarna emas yang terletak di pojok ruangan. Di teras belakang rumah, yang menjadi tempatnya melarai rasa lelah setelah seharian bekerja. Ditambah dengan udara malam yang menyejukkan serta langit hitam tanpa bintang menambah suasana menjadi semakin sunyi. Beberapa menit kemudian terdengar suara petir menggelegar, pertanda hujan akan turun. Benar saja, rintik gerimis mulai berjatuhan, yang semakin lama semakin membasahi tempat duduknya di teras itu. Rio pun segera masuk ke dalam rumahnya. Rio tinggal di rumah itu sendiri, rumah yang tidak terlalu besar namun pantas disebut rumah ideal. Saat ia memasuki ruang keluarga tiba-tiba ada sesuatu yang membuatnya merasa tertarik untuk duduk di sana. Ruangan bercat putih dengan beberapa pajangan foto serta impian-impiannya. Terlihat lucu, memang. Namun ia merasa foto-foto tersebut mampu menjadi pasokan energi serta ambisi untuk terus berproses meraih impian-impiannya. Biasanya sebelum berangkat bekerja, ia sempatkan waktu hanya untuk sekedar memandang foto-foto tersebut. Ya... hitung-hitung untuk sedikit melepas rindu pada keluarganya.
Rio merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya hanyalah seorang petani dan pedang kecil-kecilan di sebuah perkampungan serta sudah berkeluarga. Ayah Rio tinggal bersama kakak pertamanya. Sedangkan ibunya sudah meninggal dunia sejak ia duduk di bangku Sekolah Dasar tepatnya kelas 3 SD. Dan sekarang ia tinggal sendirian di kota besar karena tuntutan pekerjaan sebagai salah satu staff di perusahaan terkemuka di Indonesia.
Hujan yang tadinya hanya sebatas rintik-tintik pun kini semakin menjadi-jadi disertai kilatan petir yang semakin menggila mengubah suasana menjadi mencekam dan was-was. Namun di tengah suasana itu, tiba-tiba ia teringat akan keluarganya. Ia merasa ingin sekali bertemu keluarganya di kampung, tanah kelahirannya. Sayang, kesibukannya selalu saja menghalanginya. Kalaupun ada waktu, pasti tidak cukup memungkinkan untuknya pulang. Salah satu cara yang cukup efektif adalah dengan menghubungi keluarganya lewat telephone. Itu masih terasa sangat kurang baginya, mengingat sudah beberapa tahun ia tidak bertemu dengan keluarganya. Entah mengapa rasa rindunya seakan memutar balikkan waktu, Rio merasa kembali ke masa lalu. Ia merasa seakan melihat ibunya tersenyum padanya. Rio merasa seakan dirinya terlahir kembali ke dunia dan melihat keluarganya masih utuh, bahagia tertawa bersama di rumahnya yang sederhana. Saat malam hari hujan seperti ini, biasanya mereka berkumpul di satu ruangan sembari melantunkan ayat suci Al-Quran yang dibimbing oleh sang ayah serta kedua saudaranya yang bertadarus bersama ibunya. Ayahnya selalu menyempatkan waktu untuk membimbing anak-anaknya belajar ilmu-ilmu agama dan beliau selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk mereka.
Salah satu harapan ayah yaitu ingin sekali melihat anak-anaknya menjadi orang yang sukses di kemudian hari, tidak hanya sukses untuk diri sendiri namun juga untuk orang lain yang pada intinya menjadi orang-orang yang bermanfaat serta mampu menerapkan apa yang telah ayah ajarkan kepada mereka. Ayah selalu mengatakan bahwa beliau merasa sangat bangga jika melihat ketiga putranya dapat melaksanakan dan menerapkan nasihat-nasihat ayah dengan baik. Beliau akan melakukan hal apapun agar dapat terus mendukung ketiga putranya untuk meraih mimpi-mimpi mereka. Namun keterbatasan ekonomi hampir saja menumbangkan mimpi-mimpi ayah. "Nak, maafkan ayah. Kemungkinan ayah hanya bisa menyekolahkan salah satu dari kalian", kata ayah dengan raut wajah penuh kecewa serta kesedihan yang sebisa mungkin ayah tutupi dari kami. Pada saat itu pula, kedua kakaknya memilih mengalah. Memang, di antara mereka bertiga Rio lah yang prestasi akademiknya paling menonjol meskipun usianya paling muda. Hingga akhirnya pada saat itu kakak-kakaknya terpaksa tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SMP.
Sebenarnya Rio kerap kali merasa kasihan serta pesimis terhadap impian-impian ayahnya. Rio menyadari bahwa keluarganya bukanlah dari kalangan kelas menengah ke atas. Rio hanyalah anak seorang buruh tani dan petani kecil yang kadang-kadang penghasilan ayah hanya cukup untuk biaya makan, itupun kadang terasa pas-pasan. Penghasilan ayah sangat bergantung pada hasil bercocok tanam di lahan yang tak seberapa. Memang masyarakat di kampungnya mayoritas bekerja sebagai petani, sisanya juga hanya sebagai buruh. Maklum mayoritas tingkat pendidikan di kampungnya masih rendah. Bisa melanjutkan pendidikan hingga SMP saja rasanya sudah sangat beruntung. Apalagi bagi Rio yang ibunya juga sering sakit-sakitan serta memiliki dua saudara yang juga membutuhkan pendidikan yang sama sepertinya.
Kadang muncul rasa kasihan sekaligus prihatin ingin membantu sang ayah bekerja di ladang. Namun lagi-lagi sang ayah tidak pernah mengizinkan kecuali saat urusan sekolahnya telah selesai. Hingga karena keterbatasan biaya, sang ibu menghembuskan nafas terakhirnya saat Rio duduk di bangku kelas 3 SD. Padahal saat itu Rio dan kedua saudaranya sempat makan sehari sekali demi menghemat pengeluaran yang disisihkan untuk pengobatan sang ibu serta meminjam sejumlah uang kepada tetangganya untuk tambahan biaya pengobatan. Namun kenyataannya takdir berkata lain. Hal ini semakin menyurutkan semangat Rio untuk melanjutkan pendidikan formalnya. Tapi nyatanya beberapa hari sebelum kepergian ibunya, sang ibu sempat meminta Rio untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dan Rio sempat mengelak. Rio berkata, "Orang sukses tidak selalu bergantung pada pendidikan bu..". "Tapi nak, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itu jembatan bagi mu untuk menuju impian-impianmu nak. Kita memang bukan orang yang kaya harta, tapi apa salahnya jika kita bermimpi, bercita-cita. Apakah ada yang melarang orang miskin seperti kita untuk bermimpi?", ucap ibu kepada Rio. Mendengar hal itu Rio hanya terdiam sambil menahan air matanya. Mendengar percakapan antara sang ibu dan Rio, sang ayah serta kedua saudaranya pun turut memberikan dukungan kepada Rio. Dukungan itulah yang akhirnya menjadi dorongan untuk Rio untuk terus berproses mewujudkan impian-impinnya satu per satu. Rio terus berusaha memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang telah memberikan kepercayaan kepadanya hingga akhirnya Rio dapat melanjutkan pendidikan hingga SMA dan tidak terbayangkan olehnya saat ia mampu melanjutkan hingga tingkat perguruan tinggi hingga ia sampai berada di titik ini, di posisi ini dan di tempat ini. Sungguh benar-benar tidak terbayangkan sebelumnya.
Tak terasa ia sudah berderai air mata seiring dengan derasnya hujan malam itu. Teringat akan rindu yang selama ini ia pendam hingga terasa tak terbendung lagi. Sungguh Rio merasa menjadi manusia yang sangat beruntung. "Betapa baiknya Tuhan kepadaku, hingga Ia berikan keluarga yang sangat menyayangiku hingga mereka mau memperjuangkan segalanya demi kebahagiaanku", batin Rio sambil mengusap air mata yang mengalir dari sudut matanya.
0 comments:
Posting Komentar